KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Fatimah Az zahra dengan baik.
Adapun makalah
Fatimah Az zahra ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun
tidak lepas dari semua itu, kami menyadar sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik
dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang
dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin
memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki laporan
ini.
Akhirnya
penyusun mengharapkan semoga dari makalah Fatimah Az zahra ini dapat diambil
hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.
Jakarta,15 November 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar...........................................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................................3
Bab I
Pendahuluan
..............................................................................................................................4
Bab II
Pembahasan
...............................................................................................................................5
Bab III
Penutup.....................................................................................................................................17
Daftar
Pustaka..........................................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
Kelahiran Fatimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi
wassalam dengan memberikan nama Fatimah dan julukannya Az-Zahra, sedangkan
kunyahnya adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya).Ia putri yang mirip dengan ayahnya, Ia tumbuh dewasa dan ketika menginjak usia 5 tahun terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya yaitu turunnya wahyu dan tugas berat yang diemban oleh ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya. sampai cobaan yang berat dengan meninggal ibunya Khadijah. Ia sangat pun sedih dengan kematian ibunya.
Rasulullah sangat menyayangi Fatimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fatimah sebelum menemui istri istrinya. Aisyah berkata ,” Aku tidak melihat seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fatimah, jika ia datang mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fatimah bila Rasulullah datang mengunjunginya.”.
Rasulullah mengungkapkan rasa cintanya kepada putrinya takala diatas mimbar:” Sungguh Fatimah bagian dariku , Siapa yang membuatnya marah berarti membuat aku marah”. Dan dalam riwayat lain disebutkan,” Fatimah bagian dariku, aku merasa terganggu bila ia diganggu dan aku merasa sakit jika ia disakiti.”.
Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menjalankan haji wada’ dan ketika ia melihat Fatimah, dia menemuinya dengan ramah sambil berkata,” Selamat datang wahai putriku”. Lalu Dia menyuruh duduk disamping kanannya dan membisikkan sesuatu, sehingga Fatimah menangis dengan tangisan yang keras, tatkala Fatimah sedih lalu Dia membisikkan sesuatu kepadanya yang menyebabkan Fatimah tersenyum.
Tatkala Aisyah bertanya tentang apa yang dibisikannya lalu Fatimah menjawab,” Saya tak ingin membuka rahasia”. Setelah Rasulullah wafat, Aisyah bertanya lagi kepada Fatimah tentang apa yang dibisikan Rasulullah kepadanya sehingga membuat Fatimah menangis dan tersenyum. Lalu Fatimah menjawab, ”Adapun yang Dia katakan kepada saya pertama kali adalah dia memberitahu bahwa sesungguhnya Jibril telah membacakan al-Qur’an dengan hafalan kepada dia setiap tahun sekali, sekarang dia membacakannya setahun 2 kali, lalu Dia berkata, “Sungguh saya melihat ajalku telah dekat, maka bertakwalah dan bersabarlah, sebaik-baiknya Salaf (pendahulu) untukmu adalah Aku”. Maka akupun menangis yang engkau lihat saat kesedihanku. Dan saat Dia membisikan yang kedua kali, Dia berkata, ”Wahai Fatimah apakah engkau tidak suka menjadi penghulu wanita-wanita penghuni surga dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku”. Kemudian saya tertawa.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kelahiran Fatimah Azzahra
Pada hari kedua puluh Jumadi
Tsani, dimana Rasulullah SAW telah melewati masa lima tahun dari di utusnya
beliau menjadi Rasul, seorang bayi perempuan telah membuka matanya ke dunia ini
yang mana rumah Rasul SAW telah dipenuhi oleh cahaya lebih dari sebelumnya dan
juga memberikan kesan yang dipenuhi dengan kecemerlangan dan kesegaran serta
kegembiraan khusus.
Rasulullah SAW kelihatan sangat
gembira dan betapa bahagia dengan lahirnya bayi ini dan beliau sangat
menikmatinya seraya berkata: “Putri
ini adalah ruh dan jiwa saya, dan saya menghirup bau surga dari wujudnya.”
Suatu hari Mufadhdhal bertanya
kepada Imam Shadiq : Wahai putra Rasulullah SAW! Bagaimana kelahiran ibumu
Fatimah dahulu? Imam Shadiq berkata: Baiklah, di karenakan Rasulullah SAW
menikah dengan Khadijah maka wanita-wanita Mekkah meninggalkan Khadijah dan
membiarkannya sendiri, mereka tidak mengunjunginya, dan mereka tidak memberikan
salam kepadanya dan tidak seorang wanitapun yang membolehkan menemuinya dan
menanyakan keadaannya; dalam kondisi krisis ini, Khadijah merasa sangat kesepian
dan kemalangan senantiasa membayangi keberadaan dirinya dan membuatnya tidak
tenang. Sampai Fatimah telah di kandungnya. Setelah itu Fatimah
menjadi teman berbicara dari perut ibunya, Fatimah pun memberikan curahan hati
kepada Khadijah. Rahasia ini di sembunyikan oleh Khadijah dan bahkan dia tidak
mengatakannya kepada Rasulullah SAW. Suatu hari Rasulullah SAW memasuki rumah
dan mendengar percakapan antara ibu dan anak ini. Beliau bertanya: Wahai
Khadijah! Kamu sedang berbicara dengan siapa? Khadijah menyebutkan: Janin ini,
dia berbicara dengan saya dan telah menjadi teman dalam kesepianku. Rasulullah
SAW berkata: Wahai Khadijah! Ini adalah Malaikat Jibril yang memberikan berita
kepada saya bahwa anak kamu, adalah perempuan dan darinyalah generasi selamat
dan suci akan terlahir di dunia ini dan Tuhan Tabaraka Wata’ala memberikan
kelanjutan akan generasi saya melalui perantaraan dia dan para imam maksum akan
datang dari keluarga beliau, setelah berakhirnya kenabian dan terputusnya
wahyu, maka merekalah yang akan melanjutkan risalah saya.
Imam Shadiq melanjutkan
ucapannya seraya menambahkan: Benar, Khadijah masih senantiasa berbicara dan
berkawan dengan janin yang ada di dalam rahimnya sampai tiba masa kelahiran
anaknya. Beliau menyampaikan pesan kepada wanita-wanita Quraisy bahwa: “Tolonglah saya dalam hal ini.” Mereka tidak menerimanya dan berkata:
Dahulu kamu tidak sepakat dengan kami dalam perkawinanmu dengan Muhammad dan
hari ini, kami juga sendiri akan menolak untuk menolong dan merawatmu.
Khadijah menjadi tidak senang
dan hatinya menjadi perih mendengar ucapan ini. Tetapi Tuhan dikarenakan untuk
menghargai akan usaha-usaha dan jerih payah Hadhrat Khadijah as, Dia
mengirimkan empat wanita dari sorga untuk membantu Khadijah yang beriman itu.
Mereka telah datang, tetapi setelah Khadijah melihat wanita-wanita yang tidak
dikenalinya itu, beliau menjadi heran dan kaget; salah satu dari mereka
memperkenalkan wanita-wanita yang bersamanya dengan demikian: Wahai Khadijah!
Kami adalah utusan-utusan Tuhan untuk memberikan khidmat kepadamu dan saya
adalah Sarah dan ini, adalah Asiyah – yang menjadi kawanmu di sorga – dan yang
lainnya itu, adalah Maryam putri ‘Imran, dan juga wanita terakhir adalah ibu
dari seluruh manusia dan juga ibu kami yaitu Hawa. Tuhan mengirim kami untuk
berkhidmat kepadamu.
Sama seperti wanita-wanita yang
lain, satu duduk di sebelah kanannya dan satunya lagi di sebelah kirinya dan
yang ketiga berdiri berhadapan dengannya dan yang ke empat berada di belakang
kepalanya. Fatimah telah lahir dalam keadaan bersih dan suci dan karena
telah datang ke bumi ini, cahaya memancar darinya dan cahaya ini tidak hanya
membuat seluruh rumah-rumah di Mekkah bersinar bahkan tidak sebuah titikpun di
timur dan barat tertinggal dari alam ini kecuali di sana terpencar dari cahaya
Fatimah. Dalam keadaan ini, sepuluh orang Haurul’ain yang setiap darinya di sertai dengan
ember dan pasu air sorga yang di penuhi dari air kautsar, dan telah memasuki
rumah Rasulullah SAW dan memandikan Fatimah dengan air kautsar tersebut
dan setelah itu, mereka membawa dua lembar kain putih dan harum dan membalut
bayi tersebut dengannya. Fatimah pada detik-detik pertama terlihat kata di
bibirnya dan berkata demikian: “Asyhadu an la ilaha illallah wan an abi
rasulillah sayyid Al-Anbiyaa wa an bi’ali sayyid al-wasiyaa wa waladi saadatan
al-asbaath; Saya
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa, dan ayahku
Rasulullah SAW adalah pemimpin para Nabi, dan suamiku adalah penghulu para wasy
dan putra-putraku adalah pemimpin dari anak-anak Nabi.”
Tuhan berkata: {Man yattaqillaha yaj’al lahu makhrajan}, {Wa
yarzuqhu min haitsu la yahtasibu} “Barang
siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar darinya”,
“Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.”
2.
Hidup Dalam Keadaan Miskin
Seorang lelaki dari beberapa
sahabat Nabi SAW yang hidup dalam kemiskinan. Dahulu, dia tidak mempunyai
pekerjaan yang layak dan kebanyakan waktu-waktunya terbuang secara percuma,
akhirnya dia menjadi pengangguran. Suatu hari sang istri berkata kepadanya:
Seandainya kamu pergi ketempat Nabi SAW dan mohonlah bantuan darinya! Lelaki
tersebut berangkat ketempat Nabi SAW dengan anjuran sang istri. Sewaktu mata
Nabi SAW tertuju kepadanya, beliau berkata: “Man sa alna a’athainaahu wa
manistaghnaa aghnaahullah; Barang siapa yang menginginkan bantuan dari kami,
kami akan menolongnya akan tetapi apabila dia tidak menampakkan kebutuhan dan
hajatnya, dia tidak akan menengadahkan tangannya kepada orang lain, dan Tuhan
akan menjadikan dia tidak butuh kepada orang lain.”
Lelaki itu berkata pada dirinya
sendiri tentang apa yang di maksud oleh Nabi SAW, dia lalu menebak bahwa maksud
Nabi SAW itu adalah dirinya dan tanpa berkata sepatah kata pun, dia kembali ke
rumahnya dan mengatakan kepada sang istri tentang peristiwa tersebut. Istrinya
berkata: Rasulullah SAW adalah juga manusia dan beliau tidak mengetahui kabar
tentang kamu. Beritahukanlah kepada beliau tentang keadaan hidupmu yang malang
dan penuh derita!
Lelaki tersebut terpaksa untuk yang
kedua kalinya datang menemui Rasulullah SAW tetapi sebelum dia sempat berkata
sesuatu, Rasulullah SAW mengulangi kembali perkataan sebelumnya. Dia kembali ke
rumah tanpa menampakkan sedikitpun hajatnya di depan Nabi SAW tetapi karena dia
melihat dirinya masih juga dalam cengkeraman kefakiran dan pengangguran, lemah
dan tidak mampu, maka untuk yang ketiga kalinya dengan niat yang sama dia
berangkat ke majelis Rasulullah SAW. Bibir Rasulullah SAW bergerak dengan nada
yang sama dan memberikan keyakinan kuat pada hati dan ruh, beliau mengulangi
kembali ucapannya. Kali ini memberikan keyakinan lebih kuat pada hatinya; dia
merasakan bahwa kunci dari masalahnya terdapat pada kalimat ini. Tatkala dia
meninggalkan majelis tersebut, dengan langkah-langkah yang pasti dan meyakinkan
dia menelusuri jalan. Dia berpikir dengan dirinya sendiri bahwa dirinya tidak
akan pergi lagi mencari dan memohon pertolongan kepada orang lain. Saya akan
menyandarkan diri saya kepada Tuhan dan saya akan menggunakan kekuatan dan
potensi yang telah tersimpan dalam diriku dan saya juga menginginkan dari-Nya
agar diberikan keberhasilan dalam pekerjaan saya dan menjadikan saya tidak
butuh kepada orang lain. Dengan niat ini, dia mengambil sebuah kapak pinjaman
dan berangkat ke padang pasir. Hari itu dia mengumpulkan sejumlah kayu dan
menjualnya dan merasakan kelezatan hasil dari jerih payahnya sendiri. Hari-hari
berikutnya dia melanjutkan pekerjaan ini sehingga perlahan-lahan mampu
menghasilkan pendapatan dan menyediakan kebutuhan hidupnya. Dia masih juga
melanjutkan pekerjaannya sehingga dia telah memiliki modal, unta dan beberapa
budak. Dia telah menjadi salah satu dari orang-orang kaya, dikarenakan usaha
dan upayanya sepanjang hari. Suatu hari dia menemui Rasulullah SAW dan
menceritakankan kepada beliau tentang keadaan dirinya bahwa sebagaimana pada
hari itu dia datang menemui Rasulullah SAW dalam keadaan malang dan bagaimana
ucapan Rasulullah SAW telah mendesak saya untuk bergerak dan bekerja.
Rasulullah SAW berkata: Saya telah mengatakan kepadamu; barang siapa yang
menginginkan bantuan dari kami, kami akan menolongnya tetapi apabila dia tidak
menampakkan ketidakbutuhannya, maka Tuhan akan menolongnya.
3.
Fatimah Kecil
Fatimah
kecil tumbuh dengan baik dan menggemaskan. Sayang, di usianya yang ke lima
tahun sang bunda yakni Khadijah harus pulang ke Rahmatullah. Di usianya yang
masih sangat dini, ia harus menggantikan pekerjaan sang bunda untuk melayani,
membantu dan membela sang ayah.
Masa
kecil Fatimah penuh dengan tantangan juga cobaan serta kesedihan. Berkali-kali
ia harus menyaksikan sang ayah ditentang oleh kaum kafir Quraish. Tidak jarang
Fatimah kecil meneteskan air mata di pipinya karena melihat perjuangan serta
penderitaan sang ayah saat berdakwah.
Meski
hidupnya penuh tantangan dan cobaan, Fatimah tak pernah mengeluh akan hal itu.
Ia tetap semangat dan tumbuh menjadi gadis yang kuat, mengesankan serta selalu
ada untuk sang ayah. Hari ke hari, ia pun tumbuh menjadi gadis dewasa yang
cerdas, cantik jelita dan berbudi luhur serta mulia. Kisah cintanya pun
dikatakan sebagai kisah cinta paling mulia sepanjang masa.
4.
Fatimah Dewasa
Ketika
Fatimah beranjak dewasa dan siap untuk dipersunting, banyak pria mulia dan
ternama di zamannya mengajukan lamaran. Sebut saja Khalifah pertama yakni Abu
Bakar As Sidhiq dan Khalifah kedua yakni Umar Bin Khattab. Rupanya jodoh
Fatimah bukan satu di antara keduanya. Lamaran Abu Bakar maupun Umar tidak
mendapat restu dari Rasulllah SAW.
Malaikat
Jibril pun turun ke bumi dan mengabarkan pada Rasulullah bahwa Fatimah hendak
dinikahkan dengan Ali bin Abi Thalib. Keduanya adalah sepasang anak manusia
yang memang telah ditakdirkan bersama di dunia hingga akhirat. Tak lama setelah
datangnya kabar ini, Ali pun mendatangi Rasulullah dan menyampaikan niat
tulusnya untuk mempersunting buah hatinya.
Dengan
senang hati Rasulullah pun menerima lamaran tersebut dan menikahkan Fatimah
untuk Ali. Selepas menikah, pasangan Fatimah juga Ali pun akhirnya sama-sama
tahu jika mereka saling mencintai satu sama lain hanya karena Allah.
Cinta
keduanya begitu suci dan mulia. Saking sucinya, sebuah riwayat menjelaskan
bahwa cinta keduanya hanya Allah dan mereka yang tahu. Setan bahkan tak pernah
tahu bahwa ada cinta yang begitu besar di hati keduanya hingga keduanya resmi
menikah dan menjadi pasangan halal.
5.
Kisah Cinta antara Fatimah Azzahra dengan Ali bin abi
thalib
Sejak Ali ikut tinggal bersama
Rasul dan keluarganya, otomatis Ali tinggal bersama Fatimah. Mereka berdua
tinggal dan melewati hari-hari bersama sejak kecil. Hingga menjelang remaja,
tumbuhlah rasa cinta Ali kepada Fatimah. Hatinya dipenuhi keinginan untuk
selalu berada di samping Fatimah. Tapi Ali tidak bodoh. Ia adalah pemuda yang
beriman. Ali berusaha untuk selalu menjaga hatinya. Ia pendam rasa cinta itu
bertahun-tahun. Ia simpan rasa itu jauh di dalam lubuk hatinya bahkan si
Fatimah pun tidak pernah tahu bahwa Ali menyimpan lama rasa cinta yang luar
biasa untuknya.
Hingga ketika Ali telah dewasa
dan telah siap untuk menikah, maka Ali pun berniat menghadap Rasul dengan
tujuan ingin melamar putri Rasul yang tak lain adalah Fatimah, seorang
perempuan yang sudah lama Ali kagumi. Tapi sayang, niat Ali telah didahului
oleh Abu Bakar yang sudah duluan melamar Fatimah. Ali pun harus ikhlas bahwa
cintanya selama ini berakhir pupus. Apalagi Abu Bakar adalah sahabat setia
Rasul yang sangat shalih dan begitu sayang kepada Rasul, dan rasul pun
menyayanginya. Sedangkan Ali merasa dirinya hanyalah seorang pemuda yang
miskin. Sungguh jauh bila dibandingkan dengan seorang mulia seperti Abu Bakar,
pikirnya.
Rencana Allah memang sulit
ditebak oleh manusia, ternyata Rasul hanya diam ketika Abu Bakar melamar putri
beliau. Maksudnya, Rasul menolak secara halus lamaran Abu Bakar. Ali pun
senang. Karena masih merasa memiliki kesempatan melamar Fatimah. Maka Ali pun
bergegas ingin segera melamar Fatimah sebelum didahului lagi.
Namun sungguh sayang sekali,
lagi-lagi Ali didahului oleh Umar. Lagi-lagi, hati Ali tersayat. Ali sangat
bersedih. Sama seperti dengan Abu Bakar, Ali merasa tak ada harapan lagi.
Lagipula, apakah cukup dengan cinta ia akan melamar Fatimah? Karena ia hanyalah
seorang pemuda biasa yang mengharapkan seorang putri Rasul yang luar biasa.
Berbeda bila dibandingkan dengan Umar seorang keturunan bangsawan yang gagah
dan berkharisma. Dan, Ali yakin Fatimah pasti akan bahagia bersama Umar.
Maka Ali pun hanya bisa
bertawakal kepada Allah, semoga dikuatkan dengan derita cinta yang sedang
dialaminya. Kali ini, Ali harus benar-benar ikhlas dan tegar menghadapi
kenyataan itu. Namun Ali adalah pemuda yang shalih. Ia pun yakin bahwa Allah
MahaAdil. Pasti Allah sudah mempersiapkan pendamping hidup baginya. Derita
cinta memang menyakitkan. “Aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah diatas
cintaku,” bisik Ali dalam hati.
Disaat Ali merasakan derita
cintanya, tak disangka-sangka, datanglah Abu Bakar dengan senyum
indahnya. Dan memberitahu Ali untuk segera bertemu dengan Rasul karena ada yang
ingin beliau sampaikan. Pikir Ali, pasti ini tentang pernikahan Umar dengan
Fatimah. Sepertinya Rasul meminta Ali untuk membantu persiapan pernikahan
mereka. Maka Ali pun menyemangati dirinya sendiri agar kuat dan tegar. Walaupun
sebenarnya, hatinya sangat perih teriris-iris. Apalagi harus membantu
mempersiapkan dan menyaksikan pujaan hatinya menikah dengan orang lain.
Sungguh rencana Allah memang yang
paling indah. Setelah Ali bertemu Rasul, tak disangka, lamaran Umar bernasib
sama dengan lamaran Abu Bakar. Bahkan Rasul menginginkan Ali untuk menjadi
suami Fatimah. Karena Rasul sudah lama tahu bahwa Ali telah lama memendam rasa
cinta kepada putrinya. Ali pun sangat bahagia dan bersyukur. Ia pun langsung
melamar Fatimah melalui Rasul. Tapi, Ali malu kepada Rasul karena ia tak
memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar. Apalagi ia selama ini dihidupi oleh
Rasul sejak kecil.
Namun, sungguh mulia akhlak
Rasul. Beliau tidak membebankan Ali. Rasul berkata bahwa nikahilah Fatimah
walaupun hanya bermahar cincin besi. Akhirnya, Ali menyerahkan baju perangnya
untuk melamar Fatimah. Rasul pun menerima lamaran itu. Fatimah pun mematuhi
ayahnya serta siap menikah dengan Ali. Akhirnya Ali pun menikah dengan Fatimah,
perempuan yang telah lama ia cintai.
Sekarang, Fatimah telah menjadi
istri Ali. Mereka telah halal satu sama lain. Beberapa saat setelah menikah dan
siap melewati awal kehidupan bersama, yaitu malam pertama yang indah hingga
menjalani hari-hari selanjutnya bersama, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai
suamiku Ali, aku telah halal bagimu. Aku pun sangat bersyukur kepada Allah
karena ayahku memilihkan aku suami yang tampan, shalih, cerdas dan baik
sepertimu.”
Ali pun menjawab, “Aku pun
begitu, wahai Fatimahku sayang. Aku sangat bersyukur kepada Allah, akhirnya
cintaku padamu yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan ikatan suci
pernikahanku denganmu.”.
Fatimah pun berkata lagi dengan
lembut, “Wahai suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? Karena aku ingin
terjalin komunikasi yang baik diantara kita dan kelanjutan rumah tangga kita.”
Kata Ali, “ Tentu saja istriku,
silahkan. Aku akan mendengarkanmu.”
Fatimah pun berkata, “Wahai Ali
suamiku, maafkan aku. Tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku menikah
denganmu, aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada seorang
pemuda. Aku merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku. Namun
akhirnya, ayahku menikahkan aku denganmu. Sekarang aku adalah istrimu. Kau
adalah imamku, maka aku pun ikhlas melayani, mendampingi, mematuhi dan
menaatimu. Marilah kita berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhai
Allah.”
Sungguh bahagianya Ali mendengar
pernyataan Fatimah yang siap mengarungi bahtera kehidupan bersama. Suatu
pernyataan yang sangat jujur dan tulus dari hati perempuan shalihah. Tapi, Ali
juga terkejut dan sedih ketika mengetahui bahwa sebelum menikah dengannya,
ternyata Fatimah telah memendam perasaan kepada seorang pemuda. Ali merasa
bersalah karena sepertinya Fatimah menikah dengannya karena permintaan Rasul
yang tak lain adalah ayahnya Fatimah. Ali kagum dengan Fatimah yang mau
merelakan perasaannya demi taat dan berbakti kepada orang tuanya yaitu Rasul
dan mau menjadi istri Ali dengan ikhlas.
Namun Ali memang pemuda yang
sangat baik hati. Ia memang sangat bahagia sekali telah menjadi suami Fatimah.
Tapi karena rasa cintanya karena Allah yang sangat tulus kepada Fatimah, hati
Ali pun merasa tidak tega jika hati Fatimah terluka. Karena Ali sangat tahu
bagaimana rasanya menderita karena cinta. Dan sekarang, Fatimah sedang
merasakannya. Ali bingung ingin berkata apa, perasaan di dalam hatinya
bercampur aduk. Di satu sisi ia sangat bahagia telah menikah dengan Fatimah,
dan Fatimah pun telah ikhlas menjadi istrinya. Tapi di sisi lain, Ali tahu
bahwa hati Fatimah sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak. Ia tak menanggapi
pernyataan Fatimah.
Fatimah pun lalu berkata, “Wahai Ali, suamiku sayang. Astagfirullah, maafkan aku. Aku
tak ada maksud ingin menyakitimu. Demi Allah, aku hanya ingin jujur padamu.”
Ali masih saja terdiam. Bahkan
Ali mengalihkan pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu. Melihat sikap
Ali, Fatimah pun berkata sambil merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usahlah kau
pikirkan kata-kataku itu.”
Ali tetap saja terdiam dan tidak
terlalu menghiraukan rayuan Fatimah, tiba-tiba Ali pun berkata, “Fatimah, kau
tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Kau pun tahu betapa aku berjuang memendam
rasa cintaku demi untuk ikatan suci bersamamu. Kau pun juga tahu betapa
bahagianya kau telah menjadi istriku. Tapi Fatimah, tahukah engkau saat ini aku
juga sedih karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh, aku tak ingin
orang yang kucintai tersakiti. Aku begitu merasa bersalah jika seandainya kau
menikahiku bukan karena kau sungguh-sungguh cinta kepadaku. Walupun aku tahu lambat
laun pasti kau akan sangatsungguh-sungguh mencintaiku. Tapi aku tak ingin
melihatmu sakit sampai akhirnya kau mencintaiku.”
Fatimah pun tersenyum haru
mendengar kata-kata Ali. Ali diam sesaat sambil merenung. Tak terasa, mata Ali
pun mulai keluar airmata. Lalu dengan sangat tulus, Ali berkata, “Wahai
Fatimah, aku sudah menikahimu tapi aku belum menyentuh sedikitpun dari dirimu.
Kau masih suci. Aku rela agar kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai
itu. Aku akan ikhlas, lagipula pemuda itu juga mencintaimu. Jadi, aku tak akan
khawatir ia akan menyakitimu. Karena ia pasti akan membahagiakanmu. Aku tak
ingin cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan. Sungguh aku sangat
mencintaimu. Demi Allah, aku tak ingin kau terluka.”
Dan Fatimah juga meneteskan
airmata sambil tersenyum menatap Ali. Fatimah sangat kagum dengan ketulusan
cinta Ali kepadanya. Cinta yang dilandaskan keimanan yang begitu kuat. Ketika
itu juga, Fatimah ingin berkata kepada Ali, tapi Ali memotong dan berkata,
“Tapi Fatimah, bolehkah aku tahu siapa pemuda yang kau pendam rasa cintanya
itu? Aku berjanji tak akan meminta apapun lagi darimu. Namun ijinkanlah aku
mengetahui nama pemuda itu.”
Airmata Fatimah mengalir semakin
deras. Fatimah tak kuat lagi membendung rasa bahagianya dan Fatimah langsung
memeluk Ali dengan erat. Lalu Fatimah pun berkata dengan tersedu-sedu, “Wahai
Ali, demi Allah aku sangat mencintaimu. Sungguh aku sangat mencintaimu karena
Allah.” Berkali-kali Fatimah mengulang kata-katanya.
Setelah emosinya bisa terkontrol,
Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali, awalnya aku ingin tertawa dan
menahan tawa sejak melihat sikapmu setelah aku mengatakan bahwa sebenarnya aku
memendam rasa cinta kepada seorang pemuda sebelum menikah denganmu. Aku hanya
ingin menggodamu. Sudah lama aku ingin bisa bercanda mesra bersamamu. Tapi kau
malah membuatku menangis bahagia. Apakah kau tahu sebenarnya pemuda itu sudah
menikah.”
Ali menjadi bingung, Ali pun
berkata dengan selembut mungkin, walaupun ia kesal dengan ulah Fatimah
kepadanya, ”Apa maksudmu wahai Fatimah? Kau bilang padaku bahwa kau memendam
rasa cinta kepada seorang pemuda, tapi kau malah kau bilang sangat mencintaiku,
dan kau juga bilang ingin tertawa melihat sikapku, apakah kau ingin
mempermainkan aku Fatimah? Tolong sebut siapa nama pemuda itu? Mengapa kau
mengharapkannya walaupun dia sudah menikah?”
Fatimah lalu memeluk mesra lagi,
lalu menjawab pertanyaan Ali dengan manja, “Ali sayang, kau benar seperti yang
kukatakan bahwa aku memang telah memendam rasa cintaku itu. Aku memendamnya
bertahun-tahun. Sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya. Tapi aku terlalu
takut. Aku tak ingin menodai anugerah cinta yang Allah berikan ini. Aku pun
tahu bagaimana beratnya memendam rasa cinta apalagi dahulu aku sering bertemu
dengannya. Hatiku bergetar bila kubertemu dengannya. Kau juga benar wahai Ali
cintaku. Ia memang sudah menikah. Tapi tahukah engkau wahai sayangku? Pada
malam pertama pernikahannya ia malah dibuat menangis dan kesal oleh perempuan
yang baru dinikahinya.”
Ali pun masih agak bingung, tapi
Fatimah segera melanjutkan kata-katanya dengan nada yang semakin menggoda Ali,
”Kau ingin tahu siapa pemuda itu? Baiklah akan kuberi tahu. Sekarang ia berada
disisiku. Aku sedang memeluk mesra pemuda itu. Tapi dia hanya diam saja.
Padahal aku memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja padanya. Aku sangat
mencintainya dan aku pun sangat bahagia ternyata memang dugaanku benar. Ia juga
sangat mencintaiku.”
Ali berkata kepada Fatimah, “Jadi
maksudmu?”
Fatimah pun berkata, “Ya wahai
cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku.”
Berubahlah mimik wajah Ali menjadi sangat bahagia dan membalas
pelukan Fatimah dengan dekapan yang lebih mesra. Mereka masih agak malu-malu.
Saling bertatapan lalu tersenyum dan tertawa cekikikan karena tak habis pikir
dengan ulah masing-masing. Mereka bercerita tentang kenangan-kenangan masa lalu
dan berbagai hal. Malam itu pun mereka habiskan bersama dengan indah dalam
dekapan Mahabbah-Nya yang suci. Subhanallah.
Ali dan Fatimah pun menjalani
rumah tangga mereka dengan suka maupun duka. Buah cinta dari pernikahan Ali dan
Fatimah adalah putra tampan bernama Hasan dan Husain. Mereka berdua adalah anak
yang sangat disayangi orangtuanya dan disayangi Rasul, kakek mereka. Juga
disayangi keluarga Rasul yang lain tentunya. Mereka berdua nantinya juga
menjadi tokoh dan pejuang Islam yang luar biasa.
Selama berumah tangga, Ali sangat
setia dengan Fatimah, ia tak memadu Fatimah. Cintanya Ali memang untuk Fatimah,
begitupun cinta Fatimah memang untuk Ali, mereka juga bersama-sama hidup mulia
memperjuangkan Islam. Hingga hari itu pun tiba, semua yang hidup pasti akan
kembali ke sisi-Nya. Ali, Hasan dan Husin dilanda kesedihan. Fatimah terlebih
dahulu wafat, meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang yang mencintai dan
dicintainya.
Itulah kisah cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra binti
Muhammad. Subhanallah. Allah memang Mahaadil. Rencana dan
skenario-Nya sangat indah. Ada beberapa hikmah dari kisah cinta mereka. Ketika
Ali merasa belum siap untuk melangkah lebih jauh dengan Fatimah, maka Ali
mencintai Fatimah dengan diam. Karena diam adalah satu bukti cinta pada
seseorang. Diam memuliakan kesucian diri dan hati sendiri dan orang yang
dicintai. Sebab jika suatu cinta diungkapkan namun belum siap untuk mengikatnya
dengan ikatan yang suci, bisa saja dalam interaksinya akan tergoda lalu
terjerumus kedalam maksiat.Naudzubillah. Biarlah cinta dalam
diam menjadi hal indah yang bersemayam di sudut hati dan menjadi rahasia antara
hati sendiri dan Allah Sang Maha Penguasa Hati. Yakinlah Allah Mahatahu para
hamba yang menjaga hatinya. Allah juga telah mempersiapkan imbalan bagi para
penjaga hati. Imbalan itu tak lain adalah hati yang terjaga.
6. Keistimewaan Kalung yang ia
miliki
Putri
Rasulullah, Fatimah Az-Zahra memiliki kepribadian yang sabar, lembut hati, suka
menolong dan penyayang. Salah satu kisah kebaikan hati istri Ali bin Abi Thalib
itu adalah tentang kalung miliknya.
Suatu ketika Rasullah sedang duduk di masjid bersama dengan para sahabat, tiba-tiba datang seorang musafir yang kehabisan bekal. Si musafir berkata kepada Rasul. "Ya Rasulullah, saya lapar sekali, berilah saya makanan. Saya tak punya pakaian kecuali yang saya kenakan, saya tak punya uang untuk bekal pulang. Tolong saya ya Rasul".
Rasul lalu menjawab "Sayang aku sedang tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepadamu, tetapi orang yang menunjukan kebaikan adalah sama dengan orang yang melakukannya."
Suatu ketika Rasullah sedang duduk di masjid bersama dengan para sahabat, tiba-tiba datang seorang musafir yang kehabisan bekal. Si musafir berkata kepada Rasul. "Ya Rasulullah, saya lapar sekali, berilah saya makanan. Saya tak punya pakaian kecuali yang saya kenakan, saya tak punya uang untuk bekal pulang. Tolong saya ya Rasul".
Rasul lalu menjawab "Sayang aku sedang tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepadamu, tetapi orang yang menunjukan kebaikan adalah sama dengan orang yang melakukannya."
Rasul
lalu menyuruh si musafir untuk ke rumah putrinya, Fatimah Az Zahra.
"Pergilah ke tempat orang yang dicintai Allah dan Rasulnya, dia lebih
mengutamakan Allah dari pada dirinya sendiri, itulah Fatimah
putriku."
Kemudian Rasulullah meminta sahabatnya untuk mengantar musafir ke rumah Fatimah. Ketika di rumah Fatimah, ternyata tidak ada sesuatu yang layak dimakan, Fatimah juga tidak punya uang untuk diberikan. Fatimah kemudian teringat kalung hadiah pernikahannya dengan Ali. Dengan hati ikhlas Fatimah lalu memberikan satu-satunya harta yang dimilikinya kepada si musafir. "Juallah kalung ini, mudah-mudahan harganya cukup untuk memenuhi kebutuhanmu," kata Fatimah.
Musafir itu lalu kembali ke tempat Rasul yang sedang berkumpul dengan sahabatnya dan memperlihatkan kalung yang diberikan Fatimah kepadanya. Rasul begitu terharu dan tak kuasa menahan tangis, putri tercintanya rela memberikan satu-satunya harta yang dimiliki untuk membantu si musafir itu.
Salah seorang sahabat bernama Ammar bi Yasir mengajukan diri untuk membeli kalung itu. "Berapa hendak kau jual kalung itu?" tanya Ammar bin yasir kepada si musafir.
"Aku akan menjualnya dengan roti dan daging yang bisa mengenyangkan perutku, sebuah baju penutup tubuhku dan uang 10 dinar untuk bekalku pulang". Ammar lalu membeli kalung itu dengan harga 20 dinar emas, ditambah sebuah baju, serta seekor unta untuk tunggangan si musafir.
Setelah itu Ammar berkata kepada budaknya yang bernama, Asham. "Wahai Asham, pergilah menghadap Rasulullah dan katakan aku menghadiahkan kalung ini dan juga engkau kepadanya. Jadi mulai hari ini kamu bukan budakku lagi tetapi budak Rasulullah."
Rasulullah yang menerima pesan Ammar tersenyum dan melakukan hal yang sama. Fatimah begitu berbahagia menerima hadiah kalung dari ayahandanya, meskipun dia tahu kalung itu adalah kalung miliknya yang diberikan kepada musafir. Dia juga mendapat hadiah seorang budak.
Fatimah yang berhati lembut bukan berbahagia mendapatkan budak, dia justru membebaskan Asham dan menjadikan Asham manusia merdeka. Asham begitu gembira karena dirinya tak lagi menjadi budak. Dia tersenyum dan tertawa hingga membuat Fatimah bingung. Asham lalu berkata.
"Aku tertawa karena kagum dan takjub akan berkah kalung itu. Kalung itu telah mengenyangkan orang yang lapar, telah menutup tubuh orang yang telanjang, telah memenuhi hajat seorang yang fakir dan akhirnya telah membebaskan seorang budak," jawab Asham.
Kisah ini bisa menjadi pelajaran dan hikmah agar selalu bersedekah meski dalam keadaan sulit.
Kemudian Rasulullah meminta sahabatnya untuk mengantar musafir ke rumah Fatimah. Ketika di rumah Fatimah, ternyata tidak ada sesuatu yang layak dimakan, Fatimah juga tidak punya uang untuk diberikan. Fatimah kemudian teringat kalung hadiah pernikahannya dengan Ali. Dengan hati ikhlas Fatimah lalu memberikan satu-satunya harta yang dimilikinya kepada si musafir. "Juallah kalung ini, mudah-mudahan harganya cukup untuk memenuhi kebutuhanmu," kata Fatimah.
Musafir itu lalu kembali ke tempat Rasul yang sedang berkumpul dengan sahabatnya dan memperlihatkan kalung yang diberikan Fatimah kepadanya. Rasul begitu terharu dan tak kuasa menahan tangis, putri tercintanya rela memberikan satu-satunya harta yang dimiliki untuk membantu si musafir itu.
Salah seorang sahabat bernama Ammar bi Yasir mengajukan diri untuk membeli kalung itu. "Berapa hendak kau jual kalung itu?" tanya Ammar bin yasir kepada si musafir.
"Aku akan menjualnya dengan roti dan daging yang bisa mengenyangkan perutku, sebuah baju penutup tubuhku dan uang 10 dinar untuk bekalku pulang". Ammar lalu membeli kalung itu dengan harga 20 dinar emas, ditambah sebuah baju, serta seekor unta untuk tunggangan si musafir.
Setelah itu Ammar berkata kepada budaknya yang bernama, Asham. "Wahai Asham, pergilah menghadap Rasulullah dan katakan aku menghadiahkan kalung ini dan juga engkau kepadanya. Jadi mulai hari ini kamu bukan budakku lagi tetapi budak Rasulullah."
Rasulullah yang menerima pesan Ammar tersenyum dan melakukan hal yang sama. Fatimah begitu berbahagia menerima hadiah kalung dari ayahandanya, meskipun dia tahu kalung itu adalah kalung miliknya yang diberikan kepada musafir. Dia juga mendapat hadiah seorang budak.
Fatimah yang berhati lembut bukan berbahagia mendapatkan budak, dia justru membebaskan Asham dan menjadikan Asham manusia merdeka. Asham begitu gembira karena dirinya tak lagi menjadi budak. Dia tersenyum dan tertawa hingga membuat Fatimah bingung. Asham lalu berkata.
"Aku tertawa karena kagum dan takjub akan berkah kalung itu. Kalung itu telah mengenyangkan orang yang lapar, telah menutup tubuh orang yang telanjang, telah memenuhi hajat seorang yang fakir dan akhirnya telah membebaskan seorang budak," jawab Asham.
Kisah ini bisa menjadi pelajaran dan hikmah agar selalu bersedekah meski dalam keadaan sulit.
7.
Fatimah yang tidak
pernah haid
Dalam kitab fataawa adz-Dzahiriyyah di kalangan Hanafiyyah
disebutkan bahwa
"Sesungguhnya Fatimah tidak pernah mengalami haid sama sekali, saat beliau melahirkan pun langsung suci dari nifasnya setelah sesaat agar tiada terlewatkan salat baginya, karenanya beliau diberi julukan Az-Zahra".
Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Ketika aku dalam perjalanan ke langit, aku dimasukkan ke surga, lalu berhenti di sebuah pohon dari pohon-pohon surga. Aku melihat yang lebih indah dari pohon yang satu itu, daunnya paling putih, buahnya paling harum. Kemudian, aku mendapatkan buahnya, lalu aku makan. Buah itu menjadi nuthfah di sulbi-ku. Setelah aku sampai di bumi, aku berhubungan dengan Khadijah, kemudian ia mengandung Fatimah. Setelah itu, setiap aku rindu aroma surga, aku menciumi Fatimah". (Tafsir Ad-Durrul Mantsur tentang surat Al-Isra’: 1; Mustadrak Ash-Shahihayn 3: 156).
"Sesungguhnya Fatimah tidak pernah mengalami haid sama sekali, saat beliau melahirkan pun langsung suci dari nifasnya setelah sesaat agar tiada terlewatkan salat baginya, karenanya beliau diberi julukan Az-Zahra".
Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Ketika aku dalam perjalanan ke langit, aku dimasukkan ke surga, lalu berhenti di sebuah pohon dari pohon-pohon surga. Aku melihat yang lebih indah dari pohon yang satu itu, daunnya paling putih, buahnya paling harum. Kemudian, aku mendapatkan buahnya, lalu aku makan. Buah itu menjadi nuthfah di sulbi-ku. Setelah aku sampai di bumi, aku berhubungan dengan Khadijah, kemudian ia mengandung Fatimah. Setelah itu, setiap aku rindu aroma surga, aku menciumi Fatimah". (Tafsir Ad-Durrul Mantsur tentang surat Al-Isra’: 1; Mustadrak Ash-Shahihayn 3: 156).
8.
Kisah wafat nya Fatimah Azzahra
Hari ketiga Ramadan adalah hari wafatnya anak kesayangan
baginda Nabi Muhammad SAW, Fatimah Az-Zahra. Fatimah yang juga istri Ali bin
Abu Thalib, ini wafat pada 3 Ramadan tahun 11 Hijriah atau 23 November 632
Masehi. Dia dimakamkan pemakaman Baqi, Madinah.
Kepergian ibu dari Hasan dan Husein sungguh menyayat hati dan mengharu biru. Fatimah sebenarnya sudah tahu kapan dirinya akan dipanggil Ilahi.
Alkisah saat Rasulullah terbaring sakit, Fatimah tak henti-hentinya bersedih. Rasulullah pun membisikkan sesuatu ke telinga anaknya.
"Aku akan pergi tetapi engkau pertama yang akan menyusul," ujar Rasulullah dikutip dalam buku Fatimah Az-Zahra karya Sibel Eraslan, Rabu (17/5).
Sontak raut muka Fatimah menjadi senang karena keriduannya kepada ayahanda pasti segera tertambat. Banyak yang ingin tahu apa yang Rasulullah bisikkan kepada Fatimah, namun ditanya berapa kalipun Fatimah bergeming.
Fatimah menyadari ajalnya makin dekat, saat itu dia menemui ayahnya dalam mimpi. "Wahai Fatimah! aku datang untuk memberi kabar gembira kepadamu. Telah datang saat terputusnya takdir kehidupannya di dunia ini, putriku. Tiba sudah saatnya untuk kembali ke alam akhirat! Wahai Fatimah bagaimana kalau besok malam kamu menjadi tamuku?"
Sebelum meninggal, Fatimah berlaku tidak biasa di dalam rumah dia menyisir Hasan dan Husein dengan air mawar dan hati terus bergetar karena tahu dia akan meninggalkan dua buah hatinya. Dia dekap Hasan dan Husein dan diciuminya dalam-dalam.
Ali termenung dan terus memandangi belahan hatinya tersebut. lantas Fatimah berkata, "Wahai Ali. Bersabarlah untuk deritamu yang pertama dan bertahanlah untuk deritamu yang kedua! Jangan engkau melupakan diriku. Ingatlah diriku selalu mencintaimu dengan sepenuh jiwa. Engkau kekasihku, suamiku, teman hidupku yang terbaik, teman diriku berbagi derita dan teman perjalananku"
Lalu keempat orang itu menangis dan berpelukan. Fatimah lalu meminta kedua anaknya berziarah ke pemakaman Baki. Anak-anaknya menurut. Untuk terakhir kali Fatimah memandang Ali "Halal semua atasku wahai cahaya kedua mataku," ujar Fatimah memohon maaf.
Fatimah berbaring dan menyuruh Asma binti Umais menyiapkan keperluan dan makanan. Tak disangka beberapa waktu sebelum ditariknya nyawa Fatimah, dua anaknya kembali ke rumah. Fatimah pun menyuruh lagi keduanya pergi ke Raudah, dia tidak ingin anaknya sedih melihatnya menghadap Ilahi.
Dalam kesakitannya, Fatimah berbisik kepada Ali. Dia menitipkan wasiat kepada Ali, yaitu permohonan maaf kepada Ali, meminta Ali mencintai kedua anaknya, meminta dirinya dimakamkan pada malam hari agar saat dikebumikan tidak banyak dilihat manusia, dan meminta Ali untuk sering mengunjungi makamnya.
Saat menitipkan wasiat, tiba-tiba dua anaknya kembali dari Raudah. Sadar kondisi ibunya, mereka mendekap Fatimah erat-erat. Fatimah meminta keduanya agar jangan berpaling di jalan Al-Quran, jalan Rasulullah dan melawan ayahnya.
Fatimah meminta semua orang keluar dari kamarnya, dia hendak menyendiri dan ingin bersama tuhannya. Fatimah berpesan jika tidak ada lagi sahutan dari dalam kamar maka jiwanya telah hilang. Dalam sekejap Madinah telah kehilangan mawarnya saat Fatimah kembali keharibaan tuhan.
Kepergian ibu dari Hasan dan Husein sungguh menyayat hati dan mengharu biru. Fatimah sebenarnya sudah tahu kapan dirinya akan dipanggil Ilahi.
Alkisah saat Rasulullah terbaring sakit, Fatimah tak henti-hentinya bersedih. Rasulullah pun membisikkan sesuatu ke telinga anaknya.
"Aku akan pergi tetapi engkau pertama yang akan menyusul," ujar Rasulullah dikutip dalam buku Fatimah Az-Zahra karya Sibel Eraslan, Rabu (17/5).
Sontak raut muka Fatimah menjadi senang karena keriduannya kepada ayahanda pasti segera tertambat. Banyak yang ingin tahu apa yang Rasulullah bisikkan kepada Fatimah, namun ditanya berapa kalipun Fatimah bergeming.
Fatimah menyadari ajalnya makin dekat, saat itu dia menemui ayahnya dalam mimpi. "Wahai Fatimah! aku datang untuk memberi kabar gembira kepadamu. Telah datang saat terputusnya takdir kehidupannya di dunia ini, putriku. Tiba sudah saatnya untuk kembali ke alam akhirat! Wahai Fatimah bagaimana kalau besok malam kamu menjadi tamuku?"
Sebelum meninggal, Fatimah berlaku tidak biasa di dalam rumah dia menyisir Hasan dan Husein dengan air mawar dan hati terus bergetar karena tahu dia akan meninggalkan dua buah hatinya. Dia dekap Hasan dan Husein dan diciuminya dalam-dalam.
Ali termenung dan terus memandangi belahan hatinya tersebut. lantas Fatimah berkata, "Wahai Ali. Bersabarlah untuk deritamu yang pertama dan bertahanlah untuk deritamu yang kedua! Jangan engkau melupakan diriku. Ingatlah diriku selalu mencintaimu dengan sepenuh jiwa. Engkau kekasihku, suamiku, teman hidupku yang terbaik, teman diriku berbagi derita dan teman perjalananku"
Lalu keempat orang itu menangis dan berpelukan. Fatimah lalu meminta kedua anaknya berziarah ke pemakaman Baki. Anak-anaknya menurut. Untuk terakhir kali Fatimah memandang Ali "Halal semua atasku wahai cahaya kedua mataku," ujar Fatimah memohon maaf.
Fatimah berbaring dan menyuruh Asma binti Umais menyiapkan keperluan dan makanan. Tak disangka beberapa waktu sebelum ditariknya nyawa Fatimah, dua anaknya kembali ke rumah. Fatimah pun menyuruh lagi keduanya pergi ke Raudah, dia tidak ingin anaknya sedih melihatnya menghadap Ilahi.
Dalam kesakitannya, Fatimah berbisik kepada Ali. Dia menitipkan wasiat kepada Ali, yaitu permohonan maaf kepada Ali, meminta Ali mencintai kedua anaknya, meminta dirinya dimakamkan pada malam hari agar saat dikebumikan tidak banyak dilihat manusia, dan meminta Ali untuk sering mengunjungi makamnya.
Saat menitipkan wasiat, tiba-tiba dua anaknya kembali dari Raudah. Sadar kondisi ibunya, mereka mendekap Fatimah erat-erat. Fatimah meminta keduanya agar jangan berpaling di jalan Al-Quran, jalan Rasulullah dan melawan ayahnya.
Fatimah meminta semua orang keluar dari kamarnya, dia hendak menyendiri dan ingin bersama tuhannya. Fatimah berpesan jika tidak ada lagi sahutan dari dalam kamar maka jiwanya telah hilang. Dalam sekejap Madinah telah kehilangan mawarnya saat Fatimah kembali keharibaan tuhan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Fatimah adalah putri tercinta dari
Nabi saw.Fatimah binti Muhammad (606/614-632) atau Fatimah az-Azahra (Fatimah
yang selalu berseri) putri bungsu Nabi Muhammad dan ibunda Khadijah. Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang
gadis yang tidak hanya merupakan putri dari Rasulullah, namun juga mampu
menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau. Fatimah Az-Zahra
memiliki kepribadian yang sabar, dermawan, dan penyayang
karena iatidak pernah melihat
atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Rasulullah sering sekali menyebutkan
nama Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasulullah pernah berkata “ Fatimah
merupakan bidadari yang menyerupai manusia.”
2.
Kritik dan saran
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar